Kamis, 10 November 2016

Permasalahan Sila Pertama Pancasila dan Pembahasannya

Pengertian Pancasila
Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sangsekerta, yakni kata pancasyila atau pancasyiila. Pancasyila (dengan huruf “i” pendek) yang berarti lima alas atau lima dasar; sedangkan pancasyiila (dengan huruf “ii” panjang) yang berarti lima peraturan tingkah laku yang baik. (Muchson, 2009)
Sesuai dengan tempat keberadaan Pancasila yaitu pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya adalah sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo. Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978). Hal ini mengandung konsekuensi yuridis, yaitu bahwa seluruh peraturan perundangundangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undangundang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia) harus sejiwa dan sejalan dengan Pancasila. Dengan kata lain, isi dan tujuan Peraturan Perundang-undangan RI tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. (Anonim, 2013)
Sesuai dengan Penjelasan UUD NRI tahun 1945, Pembukaan mengandung empat pokok pikiran yang diciptakan dan dijelaskan dalam batang tubuh. Keempat pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pokok pikiran pertama berintikan ‘Persatuan’, yaitu; “negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
2) Pokok pikiran kedua berintikan ‘Keadilan sosial’, yaitu; “negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
3) Pokok pikiran ketiga berintikan ‘Kedaulatan rakyat’, yaitu; “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”.
4) Pokok pikiran keempat berintikan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, yaitu; “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. (Anonim, 2013)
Dalam hal ini Penulis akan lebih menjelaskan pokok pikiran keempat atau sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pokok pikiran keempat menuntut konsekuensi logis, yaitu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok pikiran ini juga mengandung pengertian taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga mengandung maksud menjunjung tinggi hak asasi manusia yang luhur dan berbudi pekerti kemanusiaan yang luhur.
Pancasila juga dijabarkan ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD NRI tahun 1945. Dalam hal ini sila pertama dapat di lihat dalam Pasal 3 Ayat (3): Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (Anonim, 2013)
Persoalan yang sering mengemukan tentang Pancasila adalah adanya ketidaksesuaianantara perilaku sebagian masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. (Muchson, 2009)
Berikut adalah salah satu contoh permasalahan sila pertama yang terjadi di tahun 2013 yaitu:
Masalah intoleransi di Indonesia masih terus terjadi, bahkan ketika negara ini baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-68 pada Sabtu (17/8) lalu. Dirilis The Jakarta Post, Senin (19/8) kemarin, beberapa warga Lenteng Agung Jakarta Selatan menuntut pemerintah Jakarta untuk mengganti lurah mereka yang baru.
Alasan warga adalah karena lurah baru itu non-Muslim, sedangkan kecamatan yang dipimpinnya mayoritas adalah umat Muslim. Jadi adalah sebuah keanehan jika lurah non-Muslim akan menghadiri berbagai aktivitas keagamaan. Lurah yang baru terpilih dan dilantik pada Juni lalu itu sendiri adalah Susan Jasmine Zulkifli dan beragama Kristen Protestan.
“Kami tidak mengevalusi soal kerjanya, karena ini bukan tentang hal itu. Kami berharap bahwa dia dipindahkan saja ke kecamatan lain yang lebih heterogen. Bahkan memiliki pemimpin perempuan sudah aneh bagi kami, karena dia tidak akan dapat bergabung dengan berbagai acara yang digelar di masjid-masjid,” kata salah satu warga, Naser Nasrullah.
Menurut juru bicara Pemprov DKI Jakarta, Eko Haryadi, pihaknya akan menampung semua aspirasi warga Jakarta. “Kalau memang ada keluhan nanti dicek oleh pimpinan, dianggap memang seharusnya dipindah, ya akan dipindah. Tapi, nanti akan dikroscek lagi,” katanya kepada KBR68H, Selasa (20/8). Dalam tuntutan itu sendiri warga setempat mengklaim telah membuat petisi dengan mengumpulkan 2300 nama dan 1500-an KTP sebagai tanda bukti dukungan untuk penggantian lurah baru tersebut. (sumber: Jawaban.com)

            Menurut pendapat saya menanggapi permasalahan di atas, kita sebagai umat beragama sudah sepatutnya menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Nilai luhur yang terkandung dalam sila pertama pancasila sudah menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk memilih agama dan kepercayaannya masing-masing. Tindakan memaksakan kehendak orang lain untuk mengikuti agama yang kita anut atau melarang orang lain untuk meyakini agamanya tidak boleh dilakukan. Sudah sepatutnya kita sebagai sesama umat beragama harus hidup rukun menjalankan kewajiban agama kita masing-masing. Tindakan menolak ibu Susan untuk menjadi lurah karena agama yang dianutnya merupakan hal yang tidak selayaknya dilakukan karena Indonesia sebagai negara demokrasi menjamin setiap warga negara untuk menerima haknya menjadi seorang pemimpin.  
            Sebagai warga negara yang baik kita harus menilai layak tidaknya seseorang menjadi pemimpin bisa kita lihat dari kemampuan dan kinerja yang dilakukan seseorang tersebut. Kita harus lebih bijaksana dalam menilai seseorang dan tidak boleh mengatasnamakan SARA untuk dijadikan alasan menghalangi hak orang lain. Alangkah lebih baik kita cegah masalah masalah serupa dengan sikap toleransi dan persatuan Indonesia agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar.
            Sikap toleransi sebenarnya sudah diterapkan oleh pendahulu kita di masa kemerdekaan.
Terhadap rancangan Pembukaaan Hukum Dasar, khususnya pada tujuh kata di
belakang kata “Ketuhanan”, ada keberatan dari Latuharhary yang mmperkirakan akibatnya
terhadap pemeluk agama lain dan adat istiadat. Sementara itu, Wongsonagoro dan Husein
Djajadiningrat memperkirakan timbulnya fanatisme. Agus Salim dalam tanggapannya
menyatakan bahwa pertentangan antara hukum agama dan hukum adat bukan hal yang
baru, namun pada umumnya dianggap telah selesai. Adapun keamanan pihak-pihak lain
tidak tergantung pada kekuasaan negara, tapi pada adatnya umat Islam yang 90% itu.
Wachid Hasjim mengatakan bahwa paksaan-paksaan itu tidak akan terjadi, dengan
berpegang pada dasar permusyawaratan. Soekarno selaku Ketua Panitia Kecil kembali
menegaskan bahwa kalimat itu adalah hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah.
Akhirnya setelah tidak ada lagi penolakan-penolakan, maka pokok-pokok dalam
Pembukaan dapat diterima. ( Muchson, 2009)
Pembicaraan menyangkut keberatan wakil-wakil dari Indonesia Timur tentang rumusan tujuh kata di belakang kata “Ketuhanan”, yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”. Pembicaraan itu akhirnya menyepakati penggantian tujuh kata tersebut dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Dengan demikian rumusannya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesedian para pemimpin Islam tersebut menunjukkan “jiwa besar” yang lebih mengutamakan bangsa dan negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan dari pada kepentingan golongan. ( Muchson, 2009)
Dari pencerminan masalah diatas kita bisa belajar dan meneladani dari para pendiri bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi sikap persatuan dan toleransi antar umat beragama. Kepedulian antar warga negara juga perlu ditingkatkan untuk mencegah kasus yang menyinggung masalah SARA. Karena jika dibiarkan kasus seperti ini akan menimbulkan konflik yang lebih besar yang menyangkut persatuan bangsa dan negara Indonesia.















DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Jakarta: Direktorat Pembelajaran Dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Muchson. 2009. Pancasila Dan Uud 1945 Dalam Kehidupan Bangsa Dan Negara Republik Indonesia. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.



0 komentar:

Posting Komentar