Pengertian Pancasila
Secara etimologis, Pancasila berasal
dari bahasa Sangsekerta, yakni kata pancasyila atau pancasyiila.
Pancasyila (dengan huruf “i” pendek) yang berarti lima alas atau lima
dasar; sedangkan pancasyiila (dengan huruf “ii” panjang) yang berarti
lima peraturan tingkah laku yang baik. (Muchson, 2009)
Sesuai dengan tempat keberadaan
Pancasila yaitu pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka fungsi pokok Pancasila
sebagai dasar negara pada hakikatnya adalah sumber dari segala sumber hukum
atau sumber tertib hukum di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo. Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978). Hal ini mengandung
konsekuensi yuridis, yaitu bahwa seluruh peraturan perundangundangan Republik
Indonesia (Ketetapan MPR, Undangundang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya yang dikeluarkan oleh
negara dan pemerintah Republik Indonesia) harus sejiwa dan sejalan dengan Pancasila.
Dengan kata lain, isi dan tujuan Peraturan Perundang-undangan RI tidak boleh menyimpang
dari jiwa Pancasila. (Anonim, 2013)
Sesuai dengan Penjelasan UUD NRI
tahun 1945, Pembukaan mengandung empat pokok pikiran yang diciptakan dan
dijelaskan dalam batang tubuh. Keempat pokok pikiran tersebut adalah sebagai
berikut:
1)
Pokok pikiran pertama berintikan ‘Persatuan’, yaitu; “negara melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
2)
Pokok pikiran kedua berintikan ‘Keadilan sosial’, yaitu; “negara hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
3)
Pokok pikiran ketiga berintikan ‘Kedaulatan rakyat’, yaitu; “negara yang berkedaulatan
rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”.
4)
Pokok pikiran keempat berintikan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, yaitu; “negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
(Anonim, 2013)
Dalam hal ini Penulis akan lebih
menjelaskan pokok pikiran keempat atau sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Pokok pikiran keempat menuntut
konsekuensi logis, yaitu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pokok pikiran ini juga mengandung pengertian taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga mengandung maksud
menjunjung tinggi hak asasi manusia yang luhur dan berbudi pekerti kemanusiaan
yang luhur.
Pancasila juga dijabarkan ke dalam
batang tubuh melalui pasal-pasal UUD NRI tahun 1945. Dalam hal ini sila pertama
dapat di lihat dalam Pasal 3 Ayat (3): Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang. (Anonim, 2013)
Persoalan yang sering mengemukan
tentang Pancasila adalah adanya ketidaksesuaianantara perilaku sebagian
masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. (Muchson,
2009)
Berikut adalah salah satu contoh
permasalahan sila pertama yang terjadi di tahun 2013 yaitu:
Masalah intoleransi di Indonesia masih terus terjadi, bahkan
ketika negara ini baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-68 pada Sabtu
(17/8) lalu. Dirilis The Jakarta Post, Senin (19/8) kemarin, beberapa
warga Lenteng Agung Jakarta Selatan menuntut pemerintah Jakarta untuk mengganti
lurah mereka yang baru.
Alasan warga adalah karena lurah baru itu non-Muslim,
sedangkan kecamatan yang dipimpinnya mayoritas adalah umat Muslim. Jadi adalah
sebuah keanehan jika lurah non-Muslim akan menghadiri berbagai aktivitas
keagamaan. Lurah yang baru terpilih dan dilantik pada Juni lalu itu sendiri
adalah Susan Jasmine Zulkifli dan beragama Kristen Protestan.
“Kami tidak mengevalusi soal kerjanya, karena ini bukan
tentang hal itu. Kami berharap bahwa dia dipindahkan saja ke kecamatan lain
yang lebih heterogen. Bahkan memiliki pemimpin perempuan sudah aneh bagi kami,
karena dia tidak akan dapat bergabung dengan berbagai acara yang digelar di
masjid-masjid,” kata salah satu warga, Naser Nasrullah.
Menurut juru bicara Pemprov DKI Jakarta, Eko Haryadi,
pihaknya akan menampung semua aspirasi warga Jakarta. “Kalau memang ada keluhan
nanti dicek oleh pimpinan, dianggap memang seharusnya dipindah, ya akan
dipindah. Tapi, nanti akan dikroscek lagi,” katanya kepada KBR68H, Selasa
(20/8). Dalam tuntutan itu sendiri warga setempat mengklaim telah membuat
petisi dengan mengumpulkan 2300 nama dan 1500-an KTP sebagai tanda bukti
dukungan untuk penggantian lurah baru tersebut. (sumber: Jawaban.com)
Menurut
pendapat saya menanggapi permasalahan di atas, kita sebagai umat beragama sudah
sepatutnya menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Nilai luhur yang
terkandung dalam sila pertama pancasila sudah menjelaskan bahwa setiap warga
negara Indonesia berhak untuk memilih agama dan kepercayaannya masing-masing. Tindakan
memaksakan kehendak orang lain untuk mengikuti agama yang kita anut atau
melarang orang lain untuk meyakini agamanya tidak boleh dilakukan. Sudah sepatutnya
kita sebagai sesama umat beragama harus hidup rukun menjalankan kewajiban agama
kita masing-masing. Tindakan menolak ibu Susan untuk menjadi lurah karena agama
yang dianutnya merupakan hal yang tidak selayaknya dilakukan karena Indonesia
sebagai negara demokrasi menjamin setiap warga negara untuk menerima haknya menjadi
seorang pemimpin.
Sebagai
warga negara yang baik kita harus menilai layak tidaknya seseorang menjadi
pemimpin bisa kita lihat dari kemampuan dan kinerja yang dilakukan seseorang
tersebut. Kita harus lebih bijaksana dalam menilai seseorang dan tidak boleh
mengatasnamakan SARA untuk dijadikan alasan menghalangi hak orang lain. Alangkah
lebih baik kita cegah masalah masalah serupa dengan sikap toleransi dan
persatuan Indonesia agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar.
Sikap toleransi
sebenarnya sudah diterapkan oleh pendahulu kita di masa kemerdekaan.
Terhadap rancangan Pembukaaan Hukum Dasar,
khususnya pada tujuh kata di
belakang kata “Ketuhanan”, ada keberatan dari Latuharhary
yang mmperkirakan akibatnya
terhadap pemeluk agama lain dan adat istiadat. Sementara
itu, Wongsonagoro dan Husein
Djajadiningrat memperkirakan timbulnya fanatisme. Agus Salim
dalam tanggapannya
menyatakan bahwa pertentangan antara hukum agama dan hukum
adat bukan hal yang
baru, namun pada umumnya dianggap telah selesai. Adapun
keamanan pihak-pihak lain
tidak tergantung pada kekuasaan negara, tapi pada adatnya
umat Islam yang 90% itu.
Wachid Hasjim mengatakan bahwa paksaan-paksaan itu tidak
akan terjadi, dengan
berpegang pada dasar permusyawaratan. Soekarno selaku Ketua
Panitia Kecil kembali
menegaskan bahwa kalimat itu adalah hasil kompromi yang
dicapai dengan susah payah.
Akhirnya setelah tidak ada lagi penolakan-penolakan, maka
pokok-pokok dalam
Pembukaan dapat diterima. ( Muchson, 2009)
Pembicaraan menyangkut keberatan
wakil-wakil dari Indonesia Timur tentang rumusan tujuh kata di belakang kata “Ketuhanan”,
yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemelukpemeluknya”. Pembicaraan itu akhirnya menyepakati penggantian tujuh kata
tersebut dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Dengan demikian rumusannya menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesedian para pemimpin Islam tersebut menunjukkan
“jiwa besar” yang lebih mengutamakan bangsa dan negara Republik Indonesia yang
baru saja diproklamasikan dari pada kepentingan golongan. ( Muchson, 2009)
Dari pencerminan masalah diatas kita bisa
belajar dan meneladani dari para pendiri bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi
sikap persatuan dan toleransi antar umat beragama. Kepedulian antar warga
negara juga perlu ditingkatkan untuk mencegah kasus yang menyinggung masalah
SARA. Karena jika dibiarkan kasus seperti ini akan menimbulkan konflik yang
lebih besar yang menyangkut persatuan bangsa dan negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2013. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Jakarta: Direktorat
Pembelajaran Dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Muchson.
2009. Pancasila Dan Uud 1945 Dalam Kehidupan Bangsa Dan Negara Republik
Indonesia. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar